Kamis, 19 November 2015

TRUE STORY: BAI FANG LI si “MALAIKAT PENGAYUH BECAK.

Sosok Bai Fang Li

Kemiskinan adalah teman hidup yang selalu setia menemani hari-hari  tua nya.  Sehari-hari ia menarik becak untuk mengumpulkan uang yang akan ia sumbang kan pada yayasan anak yatim piatu di dekat tempat tinggalnya. 
 
Usia yang senja tidak menyurutkan semangat kakek renta ini. Tubuhnya tergolong kecil untuk ukuran seorang penarik becak yang tinggal di daerah kumuh di Tianjin, China. 
 
Sudah hampir 20 tahun dia hidup di atas sadel becak tuanya.Tak mengenal cuaca panas yang terik atau pun dingin nya salju. 
 
Berangkat jam enam pagi, Bai Fang Li mulai mengayuh becak setiap hari menyusuri jalan-jalan di China. Kemudian kembali ke gubuk reot nya saat hari menjelang malam sekitar pukul delapan. 
 
Para tetangga mengenalnya sebagai pendatang tanpa sanak saudara. Banyak orang yang menyukai nya karena dia tergolong orang yang suka menolong dan ringan tangan. 
 
Senyum yang ramah selalu terpancar dari wajah keriput nya.  Inilah yang membuat para pelanggan becaknya selalu ingin memakai jasanya. Menurut pengakuan banyak orang, dia tidak pernah mematok tarif. Berapa pun ongkos dari pelanggan, akan ia terima dengan ikhlas. 
 
Kesederhanaan Seorang Bai Fang Li

Dia tinggal sendirian di sebuah gubuk reot yang hampir roboh di pemukiman kumuh kota Tianjin, China. Meski reot, gubuk itu milik seorang tetangga yang harus ia bayar ongkos sewa per harinya.
 
Perabotan dalam gubuk pun hanya seadanya. Sebuah tikar rombeng menjadi alas tidur untuk tubuh penat nya setelah seharian menggenjot pedal becak.
  
Menu makan sehari-hari hanya cukup 2 buah kue kismis dan air tawar untuk siang hari. Saat malam hari, dia hanya memakan sepotong daging atau sebutir telur. 
 
Untuk urusan pakaian, tak ada koleksi baju yang bervariasi. Apa yang di pakai nya, itulah apa yang di miliki nya. Hiasan bajunya berasal dari kain tambalan yang rajin ia jahit saat pakaian tersebut sobek atau berlubang.
 
Saat malam menjelang, lampu minyak yang tergantung di pojok ruangan adalah satu-satunya sumber cahaya yang menerangi gubuk Bai Fang Li. 
 
Tapi tahukah anda, di balik kemiskinan dan kesederhanaan hidupnya ini ternyata Bai Fang Li telah menyumbang sebanyak $ 53.000 atau lebih dari  setara dengan 600 juta rupiah untuk anak-anak miskin dan terlantar yang ada di China. 
 
Pendapatan mengayuh becaknya  sehari hanya 20-30 yuan. Hasil tersebut selalu ia kumpulkan dan di simpan dengan hati-hati. Setiap hari uang yang telah ia kumpulkan lantas di donasi kan kepada anak-anak miskin putus sekolah, agar mereka bisa mengenyam pendidikan.
 
Lalu apa yang melatarbelakangi Bai Fang Li menyerahkan semua hasil jerih payah nya tersebut untuk orang yang belum tentu dia kenal?
 
Di tahun 1986 saat usianya menginjak 74 tahun, dia berencana untuk pensiun dari pekerjaan nya sebagai penarik becak untuk kembali ke desa asalnya. 
 
Hatinya tersentuh saat menyaksikan seorang anak berumur 6 tahun sedang menawarkan jasa mengangkut barang milik seorang ibu yang sedang berbelanja. Rona kegembiraan terpancar dari wajah anak tersebut saat menerima uang recehan sebagai upah jasanya.
 
Bai Fang Li makin tersayat hatinya saat melihat anak tersebut mengais sampah untuk mencari makanan yang tersisa. Sepotong roti yang kotor ia bersihkan dengan baju lusuh nya, lalu ia makan dengan lahap. 
 
Dengan perlahan ia hampiri anak tersebut, lalu membagi makanannya dengan bocah itu. Ia sedikit heran kenapa hasil upah mengangkut barang tadi tidak di belikan makanan oleh bocah tersebut. 
 
“uang ini untuk makan adik-adik saya..” jawab bocah itu.
 
“orang tuamu di mana ?" tanya Bai Fang Li.
 
“saya tidak tahu, orang tua saya pemulung..sudah sebulan yang lalu mereka pergi dan tidak pulang lagi. Saya harus bekerja untuk menghidupi kedua adik kecil saya.” jawab bocah itu.
 
Bai Fang Li semakin sedih ketika diantarkan  ke rumah bocah itu. Dia melihat dua anak perempuan berumur 5 tahun dan 4 tahun yang tidak terurus, kotor dan kurus. Kemudian ketiga anak itu ia serahkan ke yayasan yang menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. 
 
Kepada pengurus yayasan ia berjanji akan menyerahkan semua penghasilan nya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mendapat makan dan pendidikan yang layak. 
 
Tahun 1986 adalah kali pertama ia menyumbangkan semua penghasilan membecak nya pada yayasan tersebut tanpa pamrih. 
 
Akhir Perjalanan Bai Fang Li

Selama setahun Bai Fang Li tetap mengayuh becak tuanya tanpa memperdulikan perubahan cuaca. Salju yang membekukan tubuh atau pun sinar matahari yang membakar tubuh renta nya. 
 
Dalam kurun waktu 20 tahun mengayuh becak, jika di ukur dengan jarak maka hampir sama dengan 18 kali keliling bumi. Itulah bentuk perjuangan seorang Bai Fang Li demi membantu anak-anak miskin yang putus sekolah. 
 
Pada saat usianya genap 91 tahun, tabungan terakhirnya yang berjumlah 500 yuan atau sekitar Rp 1 juta ia serahkan kepada Sekolah Menengah Tianjin YaoHua. 
 
Bai Fang Li berkata dengan sendu, “Saya sudah tidak mampu mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini adalah uang terakhir yang bisa saya sumbang kan…”
 
Pesan terakhir tersebut membuat semua guru dan murid menangis terharu.
 
Bai Fang Li di diagnosis mengidap penyakit kanker paru-paru sejak bulan Mei 2005. Hingga pada tanggal 23 September 2005, si pengayuh becak tersebut menutup usia. 
 
Tidak ada harta atau wasiat yang ia tinggalkan. Hanya kepedulian dan kerelaan hati untuk berbagi dengan sesama yang bisa ia wariskan untuk kita. Ribuan masyarakat China turut mengantarkan jenazah  menuju peristirahatan terakhirnya. 
 
“Tidak apa-apa saya hidup menderita, yang penting anak-anak miskin itu bisa makan dengan layak dan dapat bersekolah. Saya bahagia melakukan semua ini.”
 
Kurang lebih sudah 300 anak miskin dan terlantar yang telah Bai Fang Li bantu melalui yayasan pendidikan yang di dirikan nya. 
 
“Saya hanya ingin mereka rajin belajar, mampu bekerja, menjadi orang yang berguna dan berbakti pada negara.”
 
Itulah kalimat sederhana yang tulus dari seorang bernama Bai Fang Li. 
 
Semoga jiwamu tenang di surga. “Sebuah cinta yang luar biasa."
 
Anda tidak harus melakukan hal hal yg spektakuler dalam berbuat kebaikan.  Cukup lakukanlah hal sederhana namun dengan penuh KASIH (“Do small things with great LOVE“ mother Teresa from Calcutta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar