Rabu, 10 Juni 2015

Onthel Ke Vulkanisir Ban

Saat berhenti di lampu merah Unisma Kalimalang Bekasi, tampak seorang Bapak yang berhenti disebelah kiri saya hampir terjungkal kebelakang dari sepeda onthelnya.

Muatan sekitar 30 buah ban bekas di tempat duduk belakang membuat berat badannya kalah berat di tanjakan lampu merah itu.

Reflek saya dan orang disebelah kirinya menahan sepedanya yang nyaris terjungkal ke belakang itu. Sambil nyengir dia bilang terima kasih. Keringatnya bercucuran deras dikening dan bajunya. Sangat bersemangat ekspresi wajahnya.

'Masih jauh tempat vulkanisirnya Pak?'

"Saya tidak tahu tempat vulkanisirnya, saya cuma mengambil dari Cibitung dan mengantar ke belakang RS Hermina Bekasi saja. Senang juga dapat banyak, biasanya paling hanya 10 biji ban motor, ini ada 3 ban mobil"

Senyumnya mengembang dengan sempurna, walaupun telah menempuh jarak belasan kilometer membawa beban seberat itu. Tak terbayangkan berapa ribu yang akan diterima oleh lelaki berusia 50 tahunan itu, mungkin tak sampai 100.000 rupiah.

Kemauan yang keras itu membuat jarak tempuh yang jauh itu kehilangan arti, hanya semangat dan nilai uang yang akan diterima yang diingatnya.

500 meter sebelumnya di lampu merah arah stadion lama Bekasi, ada beberapa anak muda bertatoo ngamen dengan modal tepuk tangan saja. Hanya 2 baris lagu langsung minta uang.

Coba kita bandingkan Bapak itu dengan anak muda bertatoo di lampu merah itu.

Entah apa yang dirasakan saat makan makanan yang dibeli dari uang yang mereka terima bila dibandingkan dengan uang Bapak itu.

Siapa yang lebih berharga dan lebih hina?

Tak pernah terbayangkan sedikitpun oleh kami para pengamen tahun 80an bila akan ada cara mengamen seperti itu.

Mengapa?

Satu lagu itu mengemis,
Dua lagu itu kebelet buang air besar,
Tiga lagu atau lebih itu artis jalanan.

Itulah cara kami menetapkan aturan pengamen jalanan di masa itu.

Pagi, Sukses n God Bless You All..
www.hentorum.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar